Pengendalian Sosial

PENGERTIAN PENGENDALIAN SOSIAL

Masyarakat sebagai organisasi sosial yang selalu diharapkan tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga menciptakan keteraturan sosial. Untuk mencapai tujuan itu maka pengendalian sosial sangat diperlukan guna mengatasi berbagai gangguan atau penyimpangan sosial. Upaya penertiban masyarakat yang menyimpang dari norma dan nilai inilah yang disebut dengan pengendalian sosial (social control).

Menurut Berger, pengendalian sosial adalah cara yang digunakan untuk menetibkan masyarakat yang membangkang. Sedangkan menurut Roucek, pengendalian sosial adalah proses terencana maupun tidak terencana tempat individu diajarkan, dibujuk, atau dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok.
Pengadilan

CIRI – CIRI PENGENDALIAN SOSIAL

Berdasarkan definisi pengendalian sosial diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ciri – ciri dari pengendalian sosial adalah sebagai berikut :
  1. Suatu cara, meode atau teknik untuk menertibkan masyarakat.
  2. Dapat dilakukan oleh individu terhadap individu, kelompok terhadap kelompok, ataupun kelompok terhadap individu.
  3. Bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan – perubahan yang terus terjadi pada masyarakat.
  4. Dilakukan secara tibal balik, meskipun kadang tidak disadari oleh kedua pihak.

TUJUAN PENGENDALIAN SOSIAL

Berdasarkan definisi diatas pula, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan dari pengendalian sosial adalah sebagai berikut :
  1. Agar masyarakat mau mematuhi norma – norma sosial yang berlaku, baik dengan kesadaran sendiri maupun dengan paksaan.
  2. Agar dapat mewujudkan keserasian dan ketentraman dalam masyarakat.
  3. Bagi orang yang melakukan penyimpangan, diusahakan agar kembali mematuhi norma – norma yang berlaku.

LEMBAGA PENGENDALIAN SOSIAL

Dalam pelaksanaannya kita mengenal lembaga pengendalian sosial formal dan lembaga pengendalian informal. Selain itu kita juga mengenal lembaga pengendalian preventif dan lembaga pengendalian represif. Berikut ini beberepa lembaga pengendalian sosial
  • Lembaga Kepolisian

Lembaga kepolisian merupakan lembaga salah satu lembaga pengendalian sosial yang formal. Sejak awal lembaga kepolisian dibentuk dalam rangka mengawasi segala bentuk penyimpangan terhadap hukum yang berlaku. Polisi merupakan personil keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas menjadi pelindung terhadap ketertiban masyarakat, menangkap pelaku – pelaku pelanggar hukum, dan melakukan tindak lanjut terhadap penyelesaian suatu pelanggaran hukum untuk disampaikan ke pihak kejaksaan. Tugas polisi, tidak hanya melakukan penangkapan terhadap penyimpang, namun juga memberikan pembinaan agar penyimpang tidak berniat melakukan penyimpangan itu lagi. Akan tetapi, belakangan ini kita sempat merasa gelisah oleh beberapa aparat penegak hukum yang telah melakukan penyimpangan terhadap tugasnya. Apabila ini terjadi, maka akan terjadi sebuah kerusakan sistem dalam upaya pengendalian sosial itu sendiri.
  • Lembaga Kejaksaan

Lembaga kejaksaan merupakan lembaga formal yang bertugas sebagai penuntut umum, yaitu pihak yang mengajukan tuntutan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum berdasarkan tertib hukum yang belaku. Pekerjaan lembaga kejaksaan pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari lembaga kepolisian yang menangkap dan menyidik pelanggaran untuk dituntut bentuk pelanggarannya dalam rangka menciptakan keadilan masyarakat.
  • Lembaga Pengadilan

Lembaga pengadilan juag merupakan lembaga formal yang bertugas memeriksa kembali hasil penyidikan dari kepolisian serta menindaklanjuti tuntutan dari kejaksaan terhadap suatu kasus pelanggaran. Lembaga pengadilan akan mempersidangkan setiap kasus pelanggaran terhadap norma – norma hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana sesuai dengan hukum acara masing – masing. Bentuk – bentuk sanksi yang dijatuhkan lembaga pengadilan dapat berupa denda, hukuman kurungan, hukuman sementara, hukuman seumur hidup dan hukuman mati yang ditentukan berdasarkan kesalahan yang dilakukan oleh si pelanggar.
  • Lembaga Adat

Lembaga adat merupakan lembaga pengendalian sosial yang nonformal. Pada masyarkat tradisional, bentuk – bentuk pelanggaran terhadap norma- norma adat masih banyak dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh sebab itu, penangannya menjadi kewenangan dari lembaga – lembaga adat masyarakat itu sendiri. Misalnya, pelanggaran terhadap adat perkawinan, adat kekerabatan, adat pembagian harta warisan, adat – adat ritual, serta tradisi – tradisi khusus yang dipertahankan oleh masing – masing anggota masyarakat.

Pada masyarakat tardisional, lembaga adat ini merupakan lembaga pengendalian sosial yang vital dalam mempengaruhi dan mengatur tata kelakuan warga masyarakat sehari – hari. Lembaga adat terdiri dari tokoh – tokoh adat, orang – orang tua, serta pemuka masyarakat. Pemimpin – pemimpin lembaga adat merupakan pemimpin nonformal, artinya keberadaan mereka bukanlah berdasarkan otoritas yang diberikan oleh negara, melainkan otoritasnya diberikan langsung leh masyarakat yang dipimpinnya melalui kriteria – kriteria tertentu yang telah ditetapkan.

  • Tokoh – Tokoh Masyarakat

Pengendalian sosial juga dapat dilakukan oleh para pemuka masyarakat yang mempunyai pengaruh ataupun kharisma untuk mengatur berbagai kegiatan masyarakat. Tokoh – tokoh masyarakat ini merupakan panutan sekaligus pengendali yang dipatuhi oleh warga masyarakat yang lain. Dengan demikian, sistem ketertiban yang ada didalam masyarakat tersebut sangat ditentukan oleh peranan tokoh – tokoh masyarakat. Pengendalian yang demikian termasuk pengendalian nonformal yang dilakukan oleh tokoh masyarakat ataupun masyarakat yang lain.

SIFAT – SIFAT PENGENDALIAN SOSIAL

Berdasarkan waktu pelaksanaan pengendalian sosial, maka pengendalian sosial mempunyai dua sifat, yaitu pengendalian sosial bersifat preventif dan pengendalian sosial bersifat represif.

1. Pengendalian sosial preventif

Pengendalian sosial bersifat preventif merupakan segala bentuk pencegahan terhadap terjadinya gangguan atau penyimpangan pada keserasian dan keadilan. Jadi pengendalian sosial ini merupakan usaha yang dilakukan sebelum adanya pelanggaran. Contohnya adalah seorang ibu yang memberi nasihat pada anaknya agar tidak ngebut waktu berkendara agar tidak terjadi kecelakaan.

2. Pengendalian sosial represif

Pengendalian sosial bersifat represif adalah pengendalian sosial yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran. Jadi, pengendalian ini merupakan usaha yang dilakukan sesudah terjadi pelanggaran sosial. Bentuk dari pengendalian sosial represif biasanya dengan memberikan sanksi. Contohnya adalah pelanggar lalu lintas akan diberikan surat tiang untuk mengikuti persidangan dengan membayar denda atau hukuman lainnya.

3. Pengendalian sosial gabungan

Pengendalian sosial gabungan merupakan pengendalian sosial dengan menggabungkan pengandalian secara preventif dan represif. Perpaduan antara keduanya bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan sekaligus untuk memulihkan kembalj keadaan menjadi seperti semula.

Sedangkan berdasarkan prosesnya, sifat pengendalian sosial dibagi menjadi dua, yaitu persuasif (persuasive) dan koersif (coercive)

1. Pengendalian sosial persuasif (persuasive)

Pengendalian sosial secara persuasif adalah pengendalian sosial yang dilakukan tanpa pemaksaan, pengendalian sosial dilakukan melalui pendekatan dan sosialisasi agar masyarakat mematuhi norma – norma sosial yang ada. Biasanya cara ini dilakukan ketika masyarakat sedang dalam keadaan tentram dan damai. Persuasif merupakan saah satu cara yang banyak ditempuh oleh banyak lembaga sebagai usaha untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sosial. Contoh pengendalian sosial secara persuasif adalah razia pada wanita tunasusila yang kemudian diberikan bimbingan dan bekal ketrampilan agar dapat mencari pekerjaan lain yang tidak meresahkan masyarakat.

2. Pengendalian sosial secara koersif (coercive)

Pengendalian sosial secara koersif adalah pengendalian sosial dengan paksaan atau kekerasan. Pengendalian dengan cara ini bersifat memaksa agar anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan norma – norma yang ada di dalam masyarakat. Jika pada suatu masyarakat banyak terdapat pelanggaran terhadap norma sosial, maka tindakan represif dan koersif dapat dilakukan agar ketertiban masyarakat kembali tercapai.

Pengendalian sosial secara koersif dibagi menjadi dua, yaitu kompulsi dan pervasi.
  1. Kompulasi, keadaan yang sengaja diciptakan sehingga seseorang terpaksa menaati peraturan dan menghasilkan kepatuhan yang sifatnya tidak langsung. Contohnya, dengan adanya hukuman penjara atau hukuman mati diharapkan orang tidak melakukan tindakan yang menyimpang.
  2. Pervasi, suatu cara penanaman atau pengolahan norma yang dilakukan secara terus menerus dan berulang – ulang dalam jangka waktu tertentu sehingga mampu mengubah kesadaran seseorang untuk memperbaiki sikap dan perbuatannya sehingga menjadi lebih baik. Contohnya, bimbingan yang dilakukan untuk mengobati pecandu narkoba.

CARA – CARA PENGENDALIAN SOSIAL

Dalam pergaulan sehari – hari maka kita akan menjumpai bahkan mungkin kita pernah melakukan berbagai cara – cara pengendalian sosial yang digunakan untuk mencegah atau mengatasi perilkau menyimpang. Berikut ini adalah beberapa cara pengendalian tersebut.

1. Cemoohan

Jika salah seorang anggota masyarakat atau kelompok berbuat suatu yang dianggap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, maka orang tersebut akan diejek atau di cemooh dengan tujuan agar orang tersebut tidak melakukan tindakan yang melanggar norma itu lagi, dan diharapkan bagi anggota masyarakat lain mengetahui jika perbuatan tersebut dianggap melanggar norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.

2. Teguran

Teguran adalah kritik yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain sehubungan dengan perilakunya yang dianggap menyimpang. Kritik tersebut bersifat membangun karena bertujuan agar seseorang memperbaiki perilakunya. Biasanya teguran digunakan untuk mengendalikan pelanggaran – pelanggaran yang ringan.

3. Pendidikan

Pendidikan juga berperan sebagai alat pengendalian sosial karena dengan pendidikan mampu membina warga masyarakat (khususnya anak sekolah) kepada pembentukan sikap dan tindakan yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pendidikan merupakan proses yang diawali sejak lahir, berlangsung sepanjang hidup, dan merupakan pengendalian sosial yang sangat efektif. Melalui pendidikan, seseorang akan dikenalkan, dibiasakan dan dituntun untuk patuh kepada berbagai nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

4. Agama

Sama halnya dengan pendidikan, agam juga berperan sebagai cara pengendalian sosial. Agama dapat memengaruhi sikap dan perilaku pemeluknya dalam hidup bermasyarakat. Agama pada dasarnya berisi larangan, perintah, dan anjuran kepada pemeluknya dalam menjalani hidup sebagai makhluk pribadi, makhluk tuhan, dan makhluk sosial. Setiap pemeluk agamanya yang taat akan mengakui kebenaran ajaran agamanya dan menjadikan ajaran agamanya sebagai pedoman dalam berperilaku. Maka dari itu, jika ia melanggar ajaran agamanya ia akan merasa berdosa, tersingkir, dan akan berusaha untuk bertobat kembali ke jalan yang benar. Maka dari itu, agama juga termasuk pengendalian sosial yang efektif.

5. Gosip atau desas-desus

Gossip atau desas – desus merupakan pengendalian sosial dengan jalan memberikan kritik namun dilontarkan dengan cara tertutup oleh masyarakat. Tidak semua gosip merupakan bentuk pengendalian sosial. Hanya gosip yang membicarakan penyimpangan sosial yang sudah terbukti kebenarannya saja yang berfungsi sebagai pengendalian sosial. Sementara gosip yang tidak mempunyai dasar atau fakta (lebih dikenal dengan fitnah) bukan termasuk dalam bentuk pengendalian sosial. Maka dari itu, gosip mempunyai dampak negatif dan juga dampak positif. Dampak positif dari gosip adalah membangun terciptanya kondisi masyarakat yang lebih tertib. Sedangkan dampak negatif dari gosip adalah dapat memecahbelahkan keutuhan masyarakat.

6. Ostrasisme

Ostrasisme dapat diartikan juga sebagai “pengucilan”. Misalnya, ada seorang anggota masyarakat yang melakukan tindakan menyimpang, ia tetap diterima dalam bekerja sama dalam masyarakat, namun ia tidak diajak berkomunikasi. Tujuan dari pengucilan ini adalah agar individu tersebut tidak melakukan penyimpangan yang serupa.

7. Fraundulens

Fraundulens adalah pengendalian sosial dengan jalan meminta bantuan kepada pihak lain yang dianggap dapat menyelesaikan masalah.

8. Intimidasi

Intimidasi dilakukan dengan cara menekan, memaksa, mengancam, atau menakut – nakuti.

9. Pemberian penghargaan dan hukuman

Biak penghargaan maupun hukuman bertujuan untuk mengendalikan perilaku seseorang agar tidak melanggar tata nilai dan norma sosial. Penghargaan dapat mendorong pelakunya untuk melakukan perbuatannya tersebut selain juga mendorong orang lain untuk melakukan hal serupa setelah mengetahui berperilaku baik ternyata dihargai. Sebaliknya hukuman dibuat untuk memberi efek jera pada pelaku penyimpangan dan agar membuat pelakunya sadar, dan diharapkan tidak mengulanginya lagi. Hukuman yang diterima seseorang menjadi peringatan bagi orang lain agar tidak ikut – ikutan melanggar norma. Hal ini dikarenakan sebab - sebab berikut :
  1. Adanya sistem pengendalian sosial yang baik belum berarti tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam masyarakat. hal tersebut mungkin sja terjadi karena
  2. Adanya kaidah – kaidah atau nilai – nilai yang tidak memuaskan bagi pihak tertentu.
  3. Tidak mungkin untuk mengatur semua epentingan masyarakat secara merata.
  4. Kadang – kadang terjadi keadaan dimana sistem pengendalian sosial tidak dapat diterapkan seterusnya.
  5. Terjadi konflik dalam masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan.

AKIBAT TIDAK BERFUNGSINYA LEMABAGA PENGENDALIAN SOSIAL

Pengendalian internal merupakan pengendalian yang dilakukan oleh komponen masyarakat itu sendiri dibawah pimpinan tokoh adat dan tokoh masyarakat, yang berawal dari pengendalian diri dari tiap diri masing – masing individu dan penurunan pembudayaan norma – norma dari genarasi tua ke generasi muda. Biasanya pengendalian internal terjadi pada masyarakat primitf. Sementara pengendalian eksternal adalah pengendalian yang dilakukan oleh lembaga – lembaga formal. Biasanya pengendalian eksternal terjadi pada masyarakat modern.

Suatu ketertiban yang terwujud dalam masyarakat sesungguhnya ditentukan oleh 3 komponen penting yaitu :
  1. Adanya norma – norma yang memadai (norma sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat).
  2. Adanya aparat penegak hukum.
  3. Adanya kesadaran dari seluruh warga untuk berlaku tertib dan menjunjung tinggi hukum.

Apabila lembaga pengendalian sosial tidak berfungsi,, maka di dalam masyarakat akan terjadi suatu kesemrawutan dan ketidakpastian. Hal tersebut akan mengarah pada suatu perkembangan untuk berlakunya hukum rimba, artinya siapa yang kuat secara fisik dan ekonomi serta secara politis akan menjadi penguasa di dalam masyarakat. selanjutnya keadaan ini akan menghasilkan komersialisasi hukum, dan yang menjadi korban adalah rakyat.

Bentuk – bentuk nyata kejadian dalam masyarakat yang merupakan akibat langsung dari tidak berfungsinya lembaga – lembaga pengendalian sosial adalah sebagai berikut :
  1. Tidak adanya kepastian hukum.
  2. Kepentingan masyarakat sulit untuk dipenuhi.
  3. Sering terjadi konflik, terutama konflik yang kepentingan yang berlatang belakang pada hakekat hidup manusia, perbedaan ideology, perbedaan budaya serta perbedaan ras.
  4. Munculnya komersialisasi hukum, jabatan, dan kekuasaan.
  5. Muunculnya sindikat – sindikat kejahatan yang mempunyai kepentingan khusus.

Oleh karena salah satu sistem lembaga pengendalian sosial tidak berfungsi, maka akibat langsung yang akan diterima oleh masyarakat adalah kekacauan – kekacauan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat dilakukan terapi sosial sebagai berikut.
  1. Memperbaiki perangkat – perangkat hukum, seperti UUD, UU, Peraturan Pemerintah, Kepres, dan sebagainya.
  2. Melakukan revitalisasi aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Yang dimaksud revitalisasi yaitu bisa dilakukan dengan penggantian, pembinaan, serta pengawasan – pengawasan yang lebih intensif terhadap semua kegiatan hukum.
  3. Melakukan usaha – usaha pembudayaan tertib sosial yang di dalamnya terdapat kepatuhan terhadap norma kesusilaan, kesopanan, adat, agama, dan hukum.